Thursday, July 14, 2011

Masa Hindu-Budha

Bab 2

Masa Hindu-Budha

Berabad-abad sebelum masuknya pengaruh Hindu-Budha ke Pulau Jawa sudah banyak bukti adanya masyarakat yang sudah memiliki kebudayaan sebagaimana telah diuraikan dalam bab terdahulu. Ahli-ahli sejarah kebudayaan, seperti N.J. Krom, J.L.A. Brandes dan lainnya telah memberikan argumentasi yang cukup meyakinkan bahwa ketika pengaruh peradaban Hindu Budha masuk ke Nusantara, harus menghadapi masyarakat yang sudah berbudaya tinggi (Krom,1,1923:44; Brandes,1887:122-129).


Sejarah Banten pada masa awal abad Masehi tidak terlalu mudah untuk direkonstruksi karena keterbatasan sumber. Namun demikian, kita berharap sumber asing dapat memberikan keterangan, karena Banten diduga sudah memiliki hubungan dengan dunia luar. Bentuk punden Lebak Sibedug, yang merupakan bangunan pengantar antara bangunan prasejarah dan candi berundak, ternyata juga terdapat di beberapa tempat di Asia (Ambary, 1991:397).

Sumber asing pertama yang secara samar-samar berkaitan dengan Banten adalah sumber tertulis yang berasal dari Yunani, yaitu Geogyaphike Hyphegesis karya Claudius Ptolemaeus. Dalam sumber ini disebutkan tentang sebuah tempat bernama Argyre yang terletak di ujung barat labadiou. Istilah labadiou dalam bahasa Sanskerta adalah Yawadwipa yang berarti 'pulau jelai'. Yawadwipa itu dianggap sama dengan Jawa; dan karena aygyre berarti `perak', sementara di ujung barat Pulau Jawa terletak sebuah kota bernama Merak, biasanya Merak itulah yang dimaksudkan dengan argyre dalam berita Yunani itu. jika dugaan itu benar, maka seharusnya dilakukan koreksi atas nama kola itu, bukan merak yang berarti ‘burung merak', melainkan merak yang berarti 'memerak, putih seperti perak' (Ayatrohaedi dalam Lubis (ed), 20031: 50-51).

Interpretasi atas kata "Perak" di atas agaknya berkaitan pula dengan sumber asing lainnya. Sebuah berita Cina yang berasal dari tahun 132 menyebutkan bahwa Raja Pien dari Kerajaan Fe-tiao meminjamkan meterai mas dan pita ungu kerajaannya kepada Maharaja Tiao pien. Menurut G. Ferrand, seorang ahli sejarah Perancis, Ye-Tiao adalah nama yang diberikan oleh orang Cina untuk menyebut Yawadwipa, sedangkan Tiao pien adalah lafal Cina dari nama Sanskerta Dewawarman. Penelitian awal ini, menyimpulkan bahwa di Pulau Panaitan, pada kira-kira tahun 130 Masehi pernah berdiri sebuah Kerajaan bernama Salakanagara (artinya "Negeri Perak") yang beribukota Rajatapura dengan rajanya yang bernama Dewawarman. Daerah kekuasaannya meliputi Kerajaan Agrabinta di Pulau Panaitan, Kerajaan Agninusa di Pulau Krakatau, dan daerah ujung Selatan Pulau Sumatera. Dengan kekuasaan meliputi seluruh Selat Sunda, Dewawarman digelari Aji Raksa Gapurasagara (Raja Penguasa Gerbang Lautan) (Jogaswara et al.,1978). Kisah yang berasal dari sumber asing Cina kemudian dikuatkan dengan sumber yang memperoleh kisah dari sebuah naskah tradisional itu, masih perlu dikoraborasikan dengan sumber-sumber arkeologis. Oleh karena itu, masih diperlukan penelitian arkeologis untuk membuktikan kebenaran tentang Kerajaan Salakanagara ini. Sebuah penelitian pendahuluan telah dilakukan Balar Bandung pada tahun 2002. Namun, hasil penelitian ini belum dapat menunjukkan bukti kuat akan keberadaan kerajaan ini.1



Masa Kerajaan Tarumanagara

Berita selanjutnya muncul lagi dari Cina -Pada abad ke-5. Berdasarkan penelitian sumber-sumber yang ada, dapat diketahui bahwa hubungan antara Cina dengan Nusantara diduga baru ada setelah terjadi perluasan kekuasaan Kerajaan Cina ke daerah Tonkin di Vietnam, yaitu pada masa Dinasti Ch'in dan Han sekitar akhir abad ke-2 Masehi. Adanya perluasan kekuasaan ini membawa perhatian Cina ke daerah-daerah selatan yang sebelumnya tidak menarik perhatian mereka. Daerah-daerah yang terletak jauh dari pusat peradaban Cina di Tiongkok bagian utara ini, dianggap belum beradab. Berabad-abad sebelum tarikh Masehi, Cina hanya melakukan perdagangan dengan Asia Barat (Poesponegoro dan Notosusanto,1990:12-13). Ketika Cina telah meluaskan pengaruhnya ke Asia Tenggara bagian utara, pengetahuan mereka tentang Nusantara hanya diperolehnya dari pihak lain, karena mereka tidak segera mengadakan hubungan langsung ke selatan. Hubungan pelayaran langsung antara Cina dan Nusantara melalui Laut Cina Selatan diduga baru dimulai pada abad ke-3 Masehi. Akan tetapi, bukti kuat yang memastikan adanya hubungan itu baru pada awal abad ke-5, yaitu dari masa Kerajaan Tarumanagara.

Sumber tertulis yang memberitakan tentang Tarumanagara adalah berita Cina, masing-masing berasal dari Fa-hsien tahun 414, Dinasti Soui dan Tang, serta tujuh buah prasasti batu yang ditemukan di daerah yang cukup berjauhan, dari dusun Batu Tumbuh di Jakarta Utara (sebuah), melalui daerah Ciampea, Bogor (lima buah), dan ke Cidanghiang di daerah Pandeglang, Banten (sebuah).

Penemuan prasasti di Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, Banten, mempertegas informasi tentang Banten. Prasasti itu terletak di tepi Sungai Cidanghiang dan baru ditemukan Pada tahun 1947. Prasasti terdiri atas dua baris aksara berbentuk seloka dalam irama anustubh, beraksara Pallawa dengan bahasa Sanskerta. Transkripsi prasasti itu berbunyi,

vikranto ‘yam aanipateh prabhuh satyapară (k) ra (mah)

narendraddvajabhûtena çrimatah pûrnnavarmmanăh.

Terjemahannya berbunyi,

"Inilah (tanda) keperwiraan, keagungan, dan keberanian yang sesungguh-sungguhnya dari raja dunia, yang mulia Purnawarman, yang menjadi sekalian raja" (Groeneveldt, 1879:7).



Dari informasi dalam prasasti di atas, terbukti bahwa wilayah Banten waktu itu bersubordinasi di bawah Kerajaan Tarumanagara. Berdasarkan temuan prasasti-prasasti lainnya, dapat diperkirakan bahwa pengaruh kekuasaan Kerajaan Tarumanagara pada masa pemerintahan Purnawarman, setidaknya meliputi Kabupaten Pandeglang, Cisadane-Tanggerang di bagian barat, Kabupaten Bogor di bagian selatan, dan daerah Jakarta di bagian utara, daerah Bekasi dan Karawang di bagian timur (Moms, 1937:363).

Dari sejumlah sumber tertulis itu, pada akhirnya dapat diyakini bahwa sekitar awal abad ke-5, tepatnya di daerah antara Sungai Cisadane bahkan Cidanghiang di Banten sampai Sungai Citarum telah berkembang sebuah kerajaan besar bernama Tarumanagara. Kedudukan daerah itu sangat strategis. Pertama, dekat dengan laut sehingga dapat memberikan akses besar di sektor perdagangan. Kedua, karena posisinya terletak di antara dua sungai besar, keadaan itu memberikan keuntungan tersendiri khususnya di bidang pertanian. Kondisi ini memberikan kemungkinan bagi Tarumanagara untuk mengembangkan bidang teknologi, seni, agama dan perdagangan (Moens,1937:363). Kerajaan itu berlangsung hingga abad ke-7. Berita Cina menyebutkan bahwa dalam tahun 666 dan 669 datang duta dari To-lo-mo (Tarumanagara). Ternyata berita itu merupakan "penutup" kisah negara Tarumanagara, Berita sejarah selanjutnya, baik dari Cina maupun dari pihak lain, tidak pernah lagi menyebut negara atau daerah yang bernama To-lo-mo atau Tarumanagara, atau nama apa pun.

Berdasarkan sumber yang ada hingga saat ini, keadaan masyarakat pada masa Tarumanagara lebih mungkin diperikan. Berdasarkan bukti dan sumber itu, dapat diduga bagaimana kira-kira mata pencaharian penduduk pada masa itu. Jika dugaan mengenai barang dagangan yang berasal dari daerah Ho-ling dapat diterima, diperoleh gambaran bahwa pada masa itu perburuan, pertambangan, perikanan, dan perniagaan, termasuk mata pencaharian penduduk, di samping pertanian, pelayaran, dan peternakan.

Berita mengenai perburuan diperoleh dari berita tentang adanya cula badak dan gading gajah yang diperdagangkan, padahal, kita tahu bahwa badak dan gajah adalah binatang liar, dan untuk mendapatkan cula dan gadingnya, terlebih lulu harus dilakukan perburuan. Sebuah sumber sekunder berupa historiografi tradisional, Tambo Tulangbawang menyebutkan bahwa Mang Wang, Maharaja Bulugading (Tiongkok) memesan cula badak putih dari Medanggili, yaitu sebutan untuk Banten, yang biasa dipakai oleh orang-orang pada zaman Hindu, hingga abad ke-13, dan cula badak itu bisa didapatkan di Ujung Wahanten (Jungkulan) (Roejan,1954:5).

Sumber ekonomi lainnya yaitu bidang perikanan dapat disimpulkan dari berita tentang kulit penyu yang termasuk barang dagangan yang digemari para niagawan Cina. Kemungkinan mengenai adanya pertambangan diperoleh dari berita tentang diperdagangkannya mas dan perak sebagai hasil daerah itu. Apakah mungkin ini ada kaitannya dengan sebutan "Negara Perak" atau Salakanagara? Karena semuanya disebutkan sebagai barang dagangan, berarti bahwa perniagaan dengan demikian juga merupakan salah satu mata pencaharian penduduk.

Berita-berita Cina menyebutkan adanya utusan dari To'lomo, yang tentu datang ke Cina dengan berlayar. Ini membuktikan bahwa kemampuan penduduk Tarumanagara di bidang pelayaran tidak usah disangsikan. Bukan tak mungkin penduduk Banten ikut dalam pelayaran itu mengingat keterampilan penduduknya di bidang pelayaran itu. Berdasarkan temuan purbakala di mana pun, dapat dipastikan bahwa perhubungan yang paling tua umurnya dilakukan melalui darat dan air (Clark, 1960:211). Masyarakat yang lebih sederhana melakukan perhubungan jauh lebih sedikit dibandingkan dengan masyarakat yang lebih maju. Hal itu dilakukan hanya dalam kesempatan tertentu. Dengan terjadinya perkembangan budaya, baik melalui penciptaan maupun melalui penemunan, terutama sebagai akibat sentuh budaya, keinginan untuk melakukan perhubungan dengan pihak lain pun kian bertambah.

Berdasarkan data yang ada, hanya diketahui aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta yang dikenal pada masa Tarumanagara. Namun, menurut berita Cina bahasa K'un-lun digunakan baik di Jawa maupun di Sumatera. Itu berarti bahwa K'un-lun' adalah nama umum untuk menyebut bahasa yang digunakan di berbagai tempat di Nusantara, yaitu sebuah bahasa Nusantara yang sudah bercampur dengan unsur bahasa Sanskerta, terutama dalam hal kosakatanya (Groeneveldt,1879:13).

Para arkeolog juga telah menemukan patung Ganesha, patung Siwa, dan lingga semu/lingga patok di lereng Gunung Raksa, Pulau Panaitan, yang dapat menjadi bukti awal bahwa pada abad ke-7, di sana masyarakatnya beragama Hindu. Dari penelitian geologis, Pulau Panaitan diperkirakan sudah ada sejak 26 juta tahun yang lalu.



Masa Kerajaan Sunda

Nama Sunda pertama kali disebut dalam sebuah prasasti, yaitu prasasti Kebon Kopi II (prasasti Rakryan Jurupangambat). Prasasti yang berangka tahun 854 Saka (932 Masehi) dan berbahasa Melayu-Kuna ini berbunyi: "...ba (r) pulihkan haji sunda..." Bagian kalimat ini dapat diterjemahkan "memulihkan Raja Sunda". Jika tafsiran itu benar, berarti Kerajaan Sunda sudah ada sebelum tahun 932 atau paling tidak setelah berakhirnya Kerajaan Tarumanagara pada abad ke-7. Hal ini dikuatkan dengan berita dari Prasasti Canggal, yang berangka tahun 654 Saka (732 Masehi), dan Prasasti Mantyasih yang berangka tahun 907 Masehi (Vogel, 1925:22).

Setidaknya setelah Kerajaan Tarumanagara berakhir, pada abad ke-8 sudah ada sebuah kerajaan berdaulat di Tatar Sunda bagian selatan yang mula-mula berpusat di Galuh. Di wilayah Tatar Sunda lainnya, di sebelah barat Sungai Citarum, pada abad yang sama juga ada pusat kerajaan yang lain yaitu Kerajaan Sunda. Tidaklah diketahui siapa nama rajanya, tetapi mungkin benar bahwa kedua kerajaan ini dipersatukan oleh Rahyang Sanjaya karena ia menjadi menantu Raja di Sunda itu.

Sementara itu sumber tertulis dari luar negeri yang menyebut nama Sunda kemudian, sebagian besar berasal dari abad ke-14 dan ke-15, antara lain dari berita Cina dan Portugis. Berita yang berasal dari Dinasti Ming (1368-1643) itu antara lain menyebutkan nama Sun-ta (Vogel, 1925:27). Nama itu dianggap sebagai lafal Cina dari Sunda yang ketika itu berperan dalam sejarah Tatar Sunda. Hal itu tidak bertentangan dengan berita yang berasal dari Tome Pires (Krom,1914:19) yang menyebutkan bahwa pada awal abad ke-16, negara di Tatar Sunda yang mempunyai hubungan niaga dengan Portugis adalah Regno de Cumda 'Kerajaan Sunda'. Demikian juga halnya dengan Antonio Pigafetta (1522) yang memberitakan Sunda sebagai sebuah daerah yang banyak menghasilkan lada (Poesponegoro dan Notosusanto,1990:41). Bahkan, dari masa yang sama itu juga terdapat kesaksian seorang penyair yang ikut dalam pelayaran keliling dunia dengan Magelhaens, Camoes, mengenai kehadiran negara bernama Sunda.

Pada masa Kerajaan Sunda ini, Banten menjadi bagian wilayah kerajaan. Hal ini dapat diketahui dari berita Tome Pires. Orang Portugis ini, adalah seorang inspektur pajak di Malaka yang ikut dalam ekspedisi ke Jawa menuliskan kesaksiannya dalam bukunya Summa Oriental (1513-`1515). Dalam catatannya ia menyatakan bahwa sejak tahun 1513 pelabuhan-pelabuhan yang dikuasai oleh Kerajaan Sunda yaitu Banten, Pontang, Cikande, Tangerang, Kalapa, Karawang, dan Cimanuk (Indramayu) semakin ramai disinggahi oleh para pedagang dari berbagai bangsa. Dari ketujuh pelabuhan tersebut, yang berkembang dengan pesat hanya Pelabuhan Banten yang terletak di Selat Sunda dan Pelabuhan Kalapa di muara Sungai Ciliwung (sekitar Teluk Jakarta) (Danasasmita, et al, 1987: ix, x: 78-79).

Menjelang Kerajaan Sunda berakhir pada tahun 1579, Islam masuk dari sebelah timur. Pangeran Syarif Hidayatullah yang kelak digelari Sunan Gunung Jati, menyebarkan Islam ke Cirebon dan Banten. Dengan membawa pasukan dari Demak, Sunan Gunung Jati mendarat di Banten pada tahun 1522 dan membentuk komunitas Islam di sana. Tentu saja hal ini merupakan ancaman serius bagi Kerajaan Sunda. Oleh karena itu, Raja Sunda mengadakan kerja sama dengan Portugis yang sudah menguasai Malaka. Meskipun kedua belah pihak telah melakukan kunjungan, namun persahabatan antara Kerajaan Sunda dan Portugis belum dapat direalisasikan. Oleh karena itu, pada tahun 1521 Raja Sunda, Sang Ratu Jayadewata kembali mengirim Ratu Samiam dan beberapa orang utusan lainnya untuk menemui Portugis di Malaka. Tugas utamanya adalah untuk sesegera mungkin merealisasikan hubungan persahabatan dengan Portugis. Rupa-rupanya, utusan kedua ini berhasil meyakinkan bangsa Portugis bahwa persahabatan yang diinginkan oleh Kerajaan Sunda akan menguntungkan bagi kedua belah pihak. Hal tersebut dapat dilihat dari keputusan Jorge d'Albuquerque (Poesponegoro dan Notosusanto,19902:47) untuk mengirim utusan resminya di bawah pimpinan Henrique de Leme. Misi utama dari utusan ini adalah menjajagi bagi suatu perjanjian politik antara Kerajaan Sunda dan Portugis. Utusan ini berangkat ke Kerajaan Sunda pada tahun 1522 dengan membawa berbagai hadiah untuk Raja Sunda (Clark, 1960:211).

Setelah mengarungi lautan, mereka berhasil berlabuh di Pelabuhan Banten dan disambut dengan baik oleh penguasa setempat. Tidak lama kemudian, mereka meneruskan perjalanannya menuju Pelabuhan Kalapa. Untuk sampai di ibu kota Kerajaan Sunda mereka harus menyusuri Sungai Ciliwung dan dua hari kemudian mereka tiba di ibukota kerajaan (Poesponegoro dan Notosusanto, 19902:47) Setibanya di ibukota Kerajaan Sunda, Henrique de Leme disambut oleh Ratu Samiam yang telah dinobatkan sebagai Raja Sunda sejak tahun 1521 menggantikan Sang Ratu Jayadewata (Poerbatjaraka, 1952:22). Kunjungan Henrique de Leme ke Kerajaan Sunda menghasilkan sebuah perjanjian politik antara Kerajaan Sunda dan Portugis yang ditandatangani pada tanggal 21 Agustus 1522. Dalam surat perjanjian, yang hingga sekarang masih tersimpan di Torre de Tombo (Arsip Nasional Portugal) Lissabon, perjanjian tersebut berisi beberapa kesepakatan, yaitu pertama, Portugis dapat mendirikan sebuah benteng di sekitar Banten; kedua, Raja Sunda akan memberikan lada sebanyak yang dibutuhkan oleh Portugis sebagai penukaran barang-barang kebutuhan Kerajaan Sunda yang dibawa oleh Portugis; ketiga, Portugis bersedia membantu Kerajaan Sunda apabila diserang oleh Kerajaan Demak atau kerajaan lainnya; dan keempat, sebagai tanda persahabatan antara Kerajaan Sunda dan Portugis, Raja Sunda akan menghadiahkan seribu karung lada (± 350 kwintal) setiap tahunnya kepada Raja Portugis sejak pembangunan benteng dimulai (Kramsich,1946:17).

Perjanjian tersebut ditandatangani langsung oleh Ratu Samiam (Prabu Surawisesa) dan Henrique de Leme. Ketika sedang melakukan perundingan, Ratu Samiam didampingi oleh tiga pembantu utamanya yaitu Mantri Dalam (Mandari Tadam), Tumenggung Sang Adipati (Tamugo Sanque de Pate), dan Syahbandar (Bengar Xabandar). - Sementara Henrique de Leme didampingi oleh Fernando de Almeida, Fransisco Anes, Manuel Mendes, Joao Coutinho, Gil Barboza, Tome Pinto, Sebastian do Rego, dan Fransisco Diaz. Meskipun dalam perjanjian itu disepakati bahwa Portugis berhak mendirikan loji di Banten, namun kenyataannya mereka lebih memilih Kalapa (Santiko, 2001:429-431) sebagai tempat untuk mendirikan loji tersebut. Di tempat inilah mereka mendirikan sebuah padrao sebelum meninggalkan Kerajaan Sunda (Bosch, 1961:1-22; Coedes,1948:51-52).

Sementara mengharapkan bantuan Portugis yang tidak kunjung datang, Surawisesa terpaksa berperang sendiri melawan pasukan muslim. Keadaan terus berperang juga dialami oleh raja penggantinya, Prabu Ratudewata (1535-1543). Namun ternyata, pada masa pemerintahan raja penggantinya, Sang Mangabatan atau Ratu Saksi menurut Carita Parahyangan (1543-1551), tidak terjadi perang. jika dihubungkan dengan berita lain bahwa dalam tahun 1546 pasukan gabungan Islam dari Banten, Cirebon, dan Demak dikerahkan untuk menaklukkan Pasuruan, keadaan tanpa perang itu justru dapat dipahami. Ratu Saksi meninggal di Pengpelangan dan digantikan oleh Tohaan di Majaya atau Prabu Nilakendra (1551-1567). Karena kalah perang, ia kemudian meninggalkan ibu kota, padahal ia sudah bersusah payah memperindah istana. Pada masa pemerintahan raja terakhir Nusiya Mulya (1567-1579), keadaan sudah tidak dapat dipertahankan. Kekuatan Banten di bawah pimpinan Maulana Yusuf semakin mendesak hingga akhirnya pada tahun 1579, Kerajaan Sunda pun berakhir (Heuken,1999: 40-41).

Tome Pires menggambarkan beberapa pelabuhan di Banten sebagai berikut. Pertama, Banten (Bantam), merupakan sebuah kota niaga yang besar dan baik. Terletak di tepi sungai, dan jung-jung dapat berlabuh di sana. Kota itu dikepalai oleh seorang kapten (= sahbandar?). Wilayah niaganya mencapai Sumatera, bahkan Kepulauan Maladewa. Pelabuhan Banten merupakan pelabuhan penting setelah Kalapa. Komoditi perdagangan berupa bahan makanan dan lada. Kedua, Pontang (Pomdam), merupakan sebuah kota niaga yang besar, terletak di tepi sungai dan jung-jung pun dapat berlabuh. Akan tetapi, Pontang kurang ramai dibandingkan Banten, walaupun jalur niaga dan komoditi perdagangan sama dengan Banten. Ketiga, Cikande (Cheguide), juga sebuah kota niaga yang besar, dan jung-jung dapat berlabuh. Perniagaan dari pelabuhan itu dilakukan dengan Priaman, Andalas, Tulang Bawang, Sekampung, dan lain-lain. Komoditi perdagangan sama dengan kedua pelabuhan sebelumnya. Keempat, Tangerang (Tamgaram), juga sebuah kota niaga yang besar. jalur niaga dan komoditi perdagangan sama dengan pelabuhan-pelabuhan sebelumnya (Dam,1957:297).

Sementara itu, Kerajaan Sunda juga memiliki jalan darat ke dua jurusan, yaitu ke arah barat dan ke arah timur. Jalan ke arah barat, yang bermula dari Pakwan Pajajaran melalui Jasinga dan Rangkasbitung, menuju Serang dan berakhir di Pelabuhan Banten. Jalan darat lainnya, dari Pakwan Pajajaran menuju Ciampea dan Rumpin. Jalur itu terhenti di Rumpin, dan perjalanan selanjutnya dilanjutkan dengan perahu melalui Sungai Cisadane (Ambary, 1982:2).

Pada awal abad ke-16, yang berkuasa di Banten adalah Prabu Pucuk Umun, yang dalam Babad Cibeber, dikenal sebagai Ratu Ajar Domas. Dengan pusat pemerintahan setingkat kadipaten di Banten Girang. Banten dengan Banten Girang dihubungkan dengan transportasi air melalui Sungai Cibanten atau dapat juga jalan darat melalui Kelapadua (Djajadiningrat, 1913/1983:124; Ayatrohaedi,1976:37). Ketika Kerajaan Banten berdiri pusat kekuasaan yang semula di Banten Girang dipindahkan ke Kota Surosowan, di Banten Lama dekat pantai.

0 komentar:

Post a Comment