Tuesday, April 19, 2011

Masa Prasejarah

BAB 1
Wilayah Banten terletak di Pulau Jawa, yang pada masa Kuarter yaitu pada kala Plestosen (±1,8 juta tahun yang lalu), diperkirakan berhubungan dengan Benua Asia bersama-sama dengan pulau-pulau yang terletak di bagian barat Indonesia, yaitu Sumatera dan Kalimantan (Bemmelen, 1949). Daratan yang menghubungkan Indonesia bagian barat dengan daratan Asia disebut sebagai Paparan Sunda (Sunda Shelf). Sementara itu pulau-pulau di bagian timur Indonesia terhubungkan dengan Australia oleh daratan yang disebut Paparan Sahul (Sahul Shelf).
Penyatuan wilayah tersebut dengan wilayah daratan Asia terjadi karena penurunan permukaan air laut sebagai akibat dari pengumpulan air di kutub menjadi es (glasiasi) (Berggren and van Couvering, 1979). Pada masa inilah terjadi penyebaran penduduk ke seluruh Nusantara. Ketika glasiasi berakhir, daratan-daratan yang tadinya menyatu, terpisah kembali. Dengan ditemukannya singkapan endapan tanah formasi plestosen di Banten, maka diyakini bahwa daerah Banten muncul semasa dengan munculnya Benua Asia (Semah,1990:39).

Budaya Prasejarah

Perkembangan budaya manusia pada masa prasejarah secara umum digambarkan berupa tahapan-tahapan yang memiliki ciri-ciri tertentu. Budaya masyarakat prasejarah Indonesia dibagi menjadi tiga tingkatan penghidupan, yaitu pertama, masa berburu dan mengumpulkan makanan; kedua, masa bercocok tanam; dan ketiga, masa kemahiran teknik (perundagian) (Sartono dalam Michrob dan Chudari, 1993:21).

Adanya tahapan perkembangan kebudayaan dengan ciri-ciri tersebut, kadang-kadang tidak ditemukan di semua wilayah. Beberapa wilayah di antaranya tidak memiliki temuan dari periode yang paling tua, tetapi memiliki tinggalan budaya yang lebih muda. Berdasarkan hasil penelitian arkeologis selama ini, dapat disimpulkan bahwa secara kronologis wilayah Banten telah mengalami semua tahapan atau tingkatan budaya prasejarah tersebut.

Masa Berburu dan Mengumpulkan Makanan

Tidak banyak keterangan tentang kehidupan masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana yang terdapat di wilayah Banten. Namun bisa diperkirakan bahwa pada tahap awal dalam kehidupan masa berburu dan mengumpulkan makanan, masyarakat sangat bergantung pada alam, Hidup tidak menetap, tingkat kehidupan pun sangat sederhana. Bahan makanan diperoleh langsung dari alam. Begitu juga dengan alat perkakas yang mereka pakai. Hampir semua bentuk produk budaya pada masa ini adalah hasil penggunaan langsung dari bahan-bahan yang ada di alam, seperti batu dan tulang-tulang binatang hasil buruan. Seringkali sangat sulit untuk membedakannya dengan bentukan alam. Peralatan batu yang disimpulkan oleh para ahli sebagai produk dari tingkat budaya itu adalah alat-alat batu yang disebut sebagai alat paleolitik, seperti kapak perimbas (chopper), kapak penetak (chopping-tool), serut genggam (scrapper), pahat genggam (hand adze), dan kapak genggam awal (proto hand axe), dan alat serpih (Genevraye and Samuel, 1972).

Di Cigeulis, Pandeglang telah ditemukan kapak perimbas, alat penetak, pembelah, dan alat serpih. Di samping itu ditemukan pula lukisan gua di Sanghiyang Sirah, Ujung Kulon (Djubiantono, 1997). Ini menunjukkan bahwa manusia waktu itu hidup di gua-gua. Pada tahap akhir dari kehidupan masa berburu dan mengumpulkan makanan itu, memang diasumsikan orang sudah mulai hidup di gua-gua walaupun tidak tetap. Gua-gua tempat tinggal sementara itu biasanya berada tidak jauh dari danau atau aliran sungai yang memiliki sumber-sumber makanan seperti ikan, kerang, dan siput.


Masa Bercocok Tanam

Ketika manusia sudah bermukim di gua-gua, maka lahirlah masa bercocok tanam. Saat itu, manusia sudah mahir mengupam (mengasah) alat-alat batu. Alat-alat batu yang pada umumnya diasah adalah beliung, kapak batu, dan di beberapa tempat, pengasahan dilakukan juga pada mata tombak dan mata panah. Selain beliung dan kapak batu, pada masa itu juga dihasilkan alat-alat obsidian dan mata panah yang digunakan sebagai alat berburu, serta alat pemukul kayu dan perhiasan. Selain itu, para ahli pada umumnya menganggap munculnya religi tahap paling awal ialah pada masa bercocok tanam.

Berdasarkan hasil penelitian dapat dicatat beberapa kemajuan baru yang terjadi pada masa bercocok tanam, antara lain munculnya teknologi penyimpanan bahan makanan yang ditandai dengan lahirnya berbagai bentuk wadah yang terbuat dari tanah liat, yang oleh para pengamat budaya disebut sebagai tradisi gerabah. Di samping itu, juga muncul rasa hormat dan kepercayaan akan adanya kekuatan lain di luar kemampuan manusia, yaitu animisme dan dinamisme. Kepercayaan yang demikian akhirnya memunculkan atau digantikan oleh rasa hormat terhadap orang-orang yang berjasa seperti pahlawan yang diikuti oleh pendirian monumen batu yang kemudian dijadikan sebagai lambang penghormatan dan sebagai media pemujaan atau yang disebut sebagai megalitik dan tradisinya. Bentuk tinggalan masa bercocok tanam tergolong budaya neolitik.

Pada tahun 1980, di Kampung Odel, Desa Kasunyatan, Kecamatan Kasemen, sekitar 2 km di sebelah selatan Masjid Agung Banten, ditemukan berbagai benda hasil budaya prasejarah seperti alat serpih, bilah, beliung persegi, gerabah, manik-manik, fragmen gelang dan cincin perunggu, yang seluruhnya bercampur dengan temuan yang berciri Banten Islam (Michrob dan Chudari, 1991; 23-24). Selain itu, ditemukan pula alat-alat neolitik di daerah Tangerang, Ciledug, Serang, dan Pandeglang (Hoop, 1941).


Budaya Megalitik
Para ahli memperkirakan budaya megalitik yang masuk ke Indonesia melalui dua gelombang besar. Gelombang pertama, yang disebut megalitik tua, diperkirakan masuk ke Indonesia sekitar 2.500-1.500 tahun sebelum Masehi, ditandai oleh pendirian monumen-monumen batu seperti menhir,2 undak batu,3 dan patung-patung simbolis-monumental. Gelombang kedua disebut sebagai megalitik muda yang diperkirakan masuk ke Indonesia sekitar awal abad pertama sebelum Masehi hingga abad-abad pertama Masehi (Soejono, et al.,1984:224). Monumen-monumen batu yang mewakili kelompok tinggalan megalitik muda antara lain berupa monumen kubur peti batu,4 dolmen semu,5 dan sarkofagus6.

Peninggalan budaya megalitik, di wilayah Banten, terdapat di Kabupaten Serang, Pandeglang, dan Lebak. Di Serang dan Pandeglang banyak dijumpai dolmen, menhir, batu gong, altar batu, batu dakon, batu bergores, dan arca tipe Polinesia. Di Lebak, juga ditemukan jenis-jenis tinggalan seperti di kedua kabupaten yang telah disebut dan bangunan megalit berupa punden berundak. Di Kabupaten Lebak, ada tiga tinggalan megalit, yaitu punden berundak Lebak Sibedug, Kosala, dan punden Arca Domas (Soejono, et al,1984'; Ambary, 1991: 397; Mihcrob,1988).

Punden berundak Lebak Sibedug yang terletak di Dusun Cibedug, Desa Citorek, Kecamatan Cibeber ini berada pada sebuah bukit di tepi Sungai Cibedug, pada ketinggian 645 m dpl. Areal wilayah itu merupakan tanah perbukitan dan hutan lindung dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun yang merupakan benteng alam atau bagian dari deretan Pegunungan Barisan serta Gunung Honje di Ujung Kulon. Lebak Cibedug berbentuk bangunan teras berundak, disusun dari batu kali dan berorientasi barat-timur. Bangunan itu terdiri dari tiga bangunan berteras, yaitu halaman depan, halaman tengah, dan halaman belakang (bangunan inti), yang secara keseluruhan berjumlah sebelas teras. Situs Lebak Cibedug menurut beberapa ahli prasejarah antara lain Van der Hoop, R.von Heine Gelderen, R.P. Soejono digolongkan kepada bangunan megalitik masa prasejarah. Para ahli tersebut berpendapat bahwa yang ada di situs Lebak Cibedug adalah sebuah menhir (Soejono, et al.,1984: 126). Sebaliknya Saringendyanti berpendapat bahwa situs Lebak Cibedug mempunyai ciri kehinduan yang terlihat pada lingga yang selama ini dikatakan sebagai menhir, yang tertancap di Sungai Cibedug. Oleh karena itu, situs Lebak Cibedug digolongkan kepada tradisi megalitik.

Sebuah sumber mata air berdiameter 35 cm, ditemukan di ujung tangga pintu dinding utara di teras II. Di sebelah timur kolam terdapat lingga (menhir yang telah dihaluskan membentuk lingga). Awal perjalanan upacara sangat mungkin dimulai dari kolam (mata air) itu (Saringendiyanti,1996:102-104). Sementara itu, temuan lain di luar kompleks tersebut adalah bangunan berbentuk segiempat berjarak sekitar 75 m arah timur laut dari bangunan teras berundak. Bangunan itu menempati areal seluas sekitar 10 x 8 m. Pada bagian tengah bangunan terdapat lubang sumuran berukuran diameter 50 cm dengan kedalaman sekitar 1 m. Sekitar 1,5 m sebelah timur lubang sumuran terdapat dua buah menhir dan serakan lempengan-lempengan batu. Selain itu, pada lereng Pegunungan Pasir Manggu, berjarak sekitar 75 m arah timur bangunan teras berundak, ditemukan batu-batu tegak menempati areal seluas 15 x 10 m. Batu-batu tegak itu disusun melingkar menyerupai pola batu temu gelang. Salah satu batu tegak (menhir) terbesar dalam kelompok itu ujungnya diperhalus membentuk lingga, berdiri tegak diapit oleh dua batu tegak yang lebih kecil. Temuan lainnya adalah batu bergores terbuat dari bongkahan batu andesit, terletak 20 m arah timur dari bangunan teras berundak. Goresan itu hampir tidak terlihat karena batu dalam keadaan aus. Diduga goresan itu berbentuk gambar.

Kompleks bangunan Lebak Cibedug sampai saat ini masih dikeramatkan oleh penduduk sekitarnya yang mayoritas memeluk agama Islam. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan bercocok tanam (padi), mereka melakukan upacara dengan dipimpin oleh seorang ketua adat "Abah Kolot". Upacara itu, pada intinya memohon restu pada leluhur agar diberi hasil panen yang melimpah dan dijauhkan dari hama penyakit (Jatmiko,1998:159-160).

Punden berundak di Kosala agaknya memiliki hubungan dengan Arca Domas di daerah Baduy, Banten Selatan. Monumen-monumennya berupa batu berundak lima tingkat, dan pada tiap undak terdapat menhir. Di situs itu pula terdapat arca dengan posisi duduk bersila, dengan kedua tangan dilipat ke depan, dan salah satu tangannya mengacungkan ibu jari. Di situs ini pula ditemukan batu bulat yang dikenal penduduk sebagai "batu pelor” (batu peluru). Sementara itu, punden berundak Arca Domas memiliki 13 undakan batu, dan di undakan paling atas terdapat menhir berukuran besar, yang merupakan lambang Batara Tunggal Sang Pencipta roh. Semua bangunan ini hingga sekarang masih dipuja dan dikeramatkan orang. Selain di ketiga tempat tersebut, masih ada lagi punden berundak yang ditemukan di Gunung Cupu. Punden-punden berundak ini dapat dikatakan sebagai cikal-bakal bentuk candi.

Di Kampung Gunung Julang, Desa Lebak Situ, Kecamatan Cipanas, ditemukan sebuah situs yang dikenal sebagai Situs Ciwongwongan. Situs ini berada pada ketinggian 625 m dpl.,13 m di sebelah barat aliran sungai kecil Ciwongwongan. Selain fragmen bangunan, ditemukan lingga-yoni terbuat dari bongkahan batu putih, yang terkait (menyatu) sama lain. Yoni berbentuk persegi, berukuran panjang 55 cm; lebar 53 cm; dan tinggi 12 cm. Bagian badan yoni berbentuk persegi dengan ukuran bagian bawah lebih sempit dari pada bagian atas, dan pada badan yoni sebelah atas itu terdapat pahatan kepala manusia di keempat sisinya. Pada bagian atas hiasan kepala terdapat tatakan lubang yang berbeda di setiap kepala, yaitu hiasan kepala sebelah utara terdapat sebuah tatakan lubang, sebelah selatan dua tatakan lubang, sebelah timur lima tatakan lubang, sedangkan sebelah barat tidak dapat diketahui karena sudah rusak atau hilang.

Dalam pada itu, lingga dibuat menyatu dengan yoni, berbentuk silinder. Bagian puncak agak meruncing seperti gada. Lingga itu berukuran tinggi 20 cm; diameter bagian bawah 14 cm, dan diameter bagian atas 16 cm (Jatmiko,1998:159-160). Lingga dan yoni itu, sangat mungkin terletak di atas bangunan batu tunggal tersusun dari batu kali.

Temuan lainnya berupa menhir, yang ditemukan di Kecamatan Baros, Kabupaten Serang. Di sini, menhir berada dalam satu kompleks. Di Mande, ditemukan semacam altar yang disebut penduduk sebagai "patapan" (tempat bertapa). Hingga masa Hindu, kemungkinan altar ini masih dipakai, sehingga dapat dikategorikan sebagai tradisi berlanjut. Selain itu, ditemukan pula jajaran menhir di puncak Gunung Karang. Di Desa Waringin ditemukan pula sebuah menhir cukup besar dan di dekatnya ada menhir-menhir kecil. Penduduk setempat mengenalnya sebagai “Sirit Baduy". Menhir-menhir lainnya yang ditemukan yaitu Sanghyang Heuleut dan di dekatnya ditemukan pula menhir Sanghyang Dengdek. Yang disebut terakhir ini lebih merupakan sebuah arca dalam posisi berdiri. Arca lain juga ditemukan di Cigeulis, yang dikenal penduduk sebagai "Batu Orok" (batu bayi). Menhir lainnya ditemukan pula di Situs Batu Goong. Menhir di sini dikelililingi batu-batu yang berbentuk gamelan dalam formasi "temu gelang" (Mansur, 2001:8-9).

Di Kabupaten Pandeglang, menhir terkonsentrasi di sekitar lereng dan kaki Gunung Pulosari. Di lereng selatan, yaitu di Kampung Baturanjang, ditemukan sebuah dolmen yang dikerjakan cukup halus dan batu lumpang. Para ahli menduga bahwa pads sekitar abad ke-7 - abad ke-8, di sini mungkin sudah ada candi. Gunung ini dianggap juga sebagai gunung suci, tempat arwah para leluhur. Batu bergores ditemukan di Kampung Cidaresi, Kecamatan Cimanuk. Batu yang mirip dengan alat vital wanita. Di Cimanuk ditemukan pula "batu tongtong" yang diduga digunakan sebagai kubur peti batu, untuk penguburan sekunder (Michrob dan Chudari, 1993:31).

Tradisi Gerabah

Tradisi pembuatan wadah yang terbuat dari bahan tanah liat atau yang disebut gerabah, telah berkembang pula di Banten. Di Tangerang terdapat tinggalan gerabah yang cukup tua. Teknik pembuatan gerabah pada masa bercocok tanam masih sangat sederhana, umumnya sangat rapuh, dan dibuat tanpa alat bantu serta dibakar pada suhu yang rendah (Saringendiyanti dalam Lubis (ed), 2003':33).

Masa Perundagian

Pada masa perundagian, masyarakat telah hidup menetap di desa-desa di daerah pegunungan, dataran rendah, dan tepi pantai dalam tata kehidupan yang makin teratur dan terpimpin. Kegiatan berburu masih tetap dilakukan, tetapi hanya merupakan kegiatan selingan. Perburuan dilakukan dengan menggunakan tombak, panah, dan jerat yang dibuat dari bambu dan rotan.

Kemajuan yang dicapai pada masa perundagian tidak hanya terjadi pada pola hunian, tetapi juga pada bidang teknologi yang ditandai oleh dikenalnya berbagai teknik penuangan logam, begitu juga di bidang kepercayaan, kesenian, dan perdagangan yang sejalan dengan kemajuan yang dicapai di bidang teknologi pelayaran. Pembuatan dan penggunaan logam sering dikaitkan dengan kebudayaan Dongson. Penemuan berbagai kapak perunggu tipe kapak corong di Pamarayan, Kopo, Pandeglang, Cikupa, dan Cipari. Temuan penting lainnya adalah sebuah nekara perunggu tipe Heger IV, yang berbentuk seperti dandang terbalik, bagian atas datar dan bagian bawah terbuka. Tipe ini disebut juga tipe Cina (Michrob dan Chudari, 1993:25).

0 komentar:

Post a Comment